Tradisi dan ritual di Pantai Selatan, terutama di Pulau Jawa, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya masyarakat pesisir. Wilayah ini dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena nilai-nilai spiritual dan mistis yang mendalam, khususnya terkait dengan legenda Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul. Tradisi-tradisi ini merefleksikan hubungan antara manusia dan alam, serta penghormatan kepada kekuatan mistis yang dipercaya menjaga keseimbangan wilayah laut dan daratan.
### 1. **Ritual Labuhan**
Ritual Labuhan adalah salah satu tradisi yang paling terkenal di Pantai Selatan, terutama di Yogyakarta, Surakarta, dan beberapa wilayah pesisir selatan lainnya di Pulau Jawa. Labuhan merupakan upacara adat untuk memberikan persembahan kepada laut sebagai bentuk penghormatan kepada Nyi Roro Kidul. Upacara ini biasanya dilakukan oleh pihak keraton, terutama Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, serta dihadiri masyarakat sekitar.
Dalam ritual ini, berbagai benda dilarungkan ke laut, seperti kain, bunga, makanan, dan bahkan pakaian milik raja yang dianggap memiliki nilai spiritual. Tujuan dari ritual ini adalah memohon keselamatan, kesejahteraan, dan perlindungan dari Ratu Pantai Selatan, serta menjaga hubungan baik antara manusia dan penguasa laut. Tradisi ini diadakan setiap tahun, terutama pada perayaan tertentu atau ketika raja memiliki peristiwa penting, seperti hari kelahiran (Tingalan Dalem).
### 2. **Upacara Sedekah Laut**
Sedekah Laut adalah tradisi tahunan di mana masyarakat pesisir mengadakan upacara persembahan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil laut yang melimpah. Upacara ini dilakukan dengan melarung atau melarungkan sesajen ke laut sebagai bentuk penghormatan kepada laut dan para makhluk yang ada di dalamnya.
Tradisi Sedekah Laut diadakan di berbagai pantai di sepanjang Pantai Selatan, seperti di Pangandaran, Cilacap, dan Pelabuhan Ratu. Sesajen yang digunakan dalam upacara ini biasanya berupa hasil bumi, seperti nasi, ayam, buah-buahan, dan bahkan kepala kerbau. Masyarakat percaya bahwa ritual ini akan membantu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam serta menghindarkan bencana.
### 3. **Tradisi Larung Saji**
Larung Saji adalah tradisi melarungkan saji atau sesajen ke laut, sebagai bentuk permohonan kepada Nyi Roro Kidul dan laut agar memberikan keselamatan. Tradisi ini biasanya diadakan oleh masyarakat sekitar pantai yang memiliki kepercayaan terhadap kekuatan laut. Larung Saji sering diadakan pada waktu tertentu, seperti bulan Suro (Muharram dalam kalender Islam), yang dianggap sebagai bulan penuh spiritualitas dalam budaya Jawa.
Dalam Larung Saji, masyarakat akan melarungkan sesajen yang telah didoakan ke laut. Prosesi ini melibatkan doa-doa khusus, persembahan bunga, dan hasil bumi yang melambangkan harapan agar lautan tetap tenang dan hasil tangkapan ikan tetap melimpah. Ritual ini juga sering kali diikuti dengan doa bersama di pesisir pantai dan diiringi gamelan atau musik tradisional Jawa.
### 4. **Malam Suro di Pantai Selatan**
Malam Suro atau malam tahun baru Islam dalam kalender Jawa adalah waktu yang sangat dihormati dalam budaya Jawa, termasuk di kawasan Pantai Selatan. Malam Suro dipandang sebagai waktu untuk merenung, mengendalikan diri, dan berdoa memohon keselamatan. Banyak orang yang datang ke pantai untuk melakukan ritual doa atau meditasi sebagai bentuk penghormatan kepada laut dan kekuatan spiritual di dalamnya.
Di beberapa tempat, malam Suro juga menjadi waktu bagi para spiritualis, juru kunci, atau pemimpin adat untuk melakukan ritual khusus di tepi Pantai Selatan. Mereka melakukan doa-doa dan larung saji untuk meminta berkah dan perlindungan dari kekuatan gaib yang dipercaya menghuni laut. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan khusyuk dan melibatkan para warga sekitar.
### 5. **Menghindari Warna Hijau di Pantai Selatan**
Salah satu kepercayaan yang populer di Pantai Selatan adalah larangan menggunakan pakaian berwarna hijau. Warna hijau diyakini sebagai warna kesukaan Nyi Roro Kidul, dan mengenakannya dianggap sebagai undangan yang tidak langsung untuk ikut ke dalam laut. Oleh karena itu, warna hijau sering dihindari oleh pengunjung yang datang ke Pantai Selatan.
Kepercayaan ini didasari pada kisah bahwa Nyi Roro Kidul memiliki kerajaan mistis di laut dan kadang-kadang mengambil manusia yang mengenakan pakaian hijau sebagai "pengikut" atau "penghuni" di istananya. Meskipun ini adalah kepercayaan tradisional, banyak masyarakat yang tetap menghormatinya sebagai bentuk penghargaan terhadap adat dan tradisi setempat.
### 6. **Pemberkatan Perahu dan Alat Tangkap Ikan**
Selain upacara besar, ada juga tradisi pemberkatan perahu dan alat tangkap ikan yang dilakukan oleh nelayan Pantai Selatan. Upacara ini sering dilakukan saat awal musim melaut atau ketika para nelayan hendak memulai aktivitas melaut dalam jangka waktu panjang. Mereka mengadakan doa bersama dan pemberkatan alat tangkap ikan agar terhindar dari bahaya selama di laut dan mendapatkan tangkapan yang melimpah.
Biasanya, ritual ini diadakan di dekat perahu yang sudah dihiasi dengan janur atau bunga. Nelayan percaya bahwa upacara ini membantu menghindarkan mereka dari marabahaya yang mungkin muncul dari ombak besar Pantai Selatan dan memberikan perlindungan dari penguasa laut.
### Kesimpulan
Tradisi dan ritual di Pantai Selatan bukan hanya aktivitas budaya, tetapi juga ekspresi kepercayaan dan spiritualitas masyarakat setempat terhadap kekuatan alam dan mitos Nyi Roro Kidul. Berbagai tradisi seperti Labuhan, Sedekah Laut, Larung Saji, dan Malam Suro memperlihatkan hubungan erat antara manusia dan lautan, serta penghormatan terhadap kekuatan alam yang lebih besar dari manusia.
Tradisi-tradisi ini juga menjadi simbol keberlanjutan budaya dan identitas masyarakat pesisir selatan Jawa. Dengan terus melaksanakan tradisi tersebut, masyarakat berusaha menjaga keharmonisan dengan alam dan menghormati kebijaksanaan leluhur. Bagi pengunjung, tradisi di Pantai Selatan ini memberikan wawasan tentang keragaman budaya dan spiritualitas Indonesia, serta menunjukkan betapa pentingnya menjaga warisan budaya yang sudah ada sejak dahulu kala.